UTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH
INDONESIA
1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi merupakan prasyarat mutlak bagi
negara-negara
dunia ketiga, termasuk Indonesia, untuk memperkecil jarak ketertinggalannya
di bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dari negara-negara industri
maju. Upaya pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut, yang umumnya
diprakarsai pemerintah, agak terkendala akibat kurang tersedianya sumber-sumber
daya ekonomi yang produktif, terutama sumberdaya modal yang seringkali berperan
sebagai katalisator pembangunan. Untuk mencukupi kekurangan sumberdaya modal
ini, maka pemerintah negara yang bersangkutan berusaha untuk mendatangkan
sumberdaya modal dari luar negeri melalui berbagai jenis
pinjaman.
Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat
membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan
belanja negara, akibat pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan
yang cukup besar. Dengan demikian, laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai
dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Tetapi dalam jangka panjang,
ternyata utang luar negeri pemerintah tersebut dapat menimbulkan berbagai
persoalan
ekonomi di Indonesia.
Pada masa krisis ekonomi, utang luar negeri
Indonesia, termasuk utang luar negeri pemerintah, telah meningkat drastis dalam
hitungan rupiah. Sehingga, menyebabkan pemerintah Indonesia harus menambah utang
luar negeri yang baru untuk membayar utang luar negeri yang lama yang telah
jatuh tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar
melalui APBN RI dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini
menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa
mendatang, sehingga jelas akan
membebani masyarakat, khususnya para wajib pajak di
Indonesia.
Berdasarkan
paparan di atas, penulis mengangkat permasalahan
tersebut ke dalam sebuah makalah yang berjudul, “Utang Luar Negeri Pemerintah
Indonesia ”. Makalah ini akan menjelaskan beberapa hal mengenai gambaran utang luar negeri pemerintah Indonesia sebagai
sumber pembiayaan pembangunan nasional, faktor-faktor penyebab munculnya utang
luar negeri pemerintah Indonesia, perkembangan utang luar negeri pemerintah
Indonesia, dampak utang luar negeri pemerintah Indonesia terhadap pembangunan
nasional, dan strategi pengelolaan utang luar negeri pemerintah Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini memiliki
rumusan masalah sebagai berikut.
1) Bagaimana
gambaran utang luar negeri pemerintah Indonesia sebagai sumber pembiayaan
pembangunan nasional?
2) Apa
faktor-faktor penyebab munculnya utang luar negeri pemerintah Indonesia?
3) Bagaimana
perkembangan utang luar negeri pemerintah Indonesia?
4) Bagaimana dampak
utang luar negeri pemerintah Indonesia terhadap pembangunan nasional?
5) Bagaimana
strategi pengelolaan utang luar negeri pemerintah Indonesia?
1.3 Tujuan
Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
makalah ini memiliki tujuan masalah sebagai berikut.
1) Mengetahui
gambaran utang luar negeri pemerintah Indonesia sebagai sumber pembiayaan
pembangunan nasional.
2) Mengetahui
faktor-faktor penyebab munculnya utang luar negeri pemerintah Indonesia.
3) Mengetahui
perkembangan utang luar negeri pemerintah Indonesia.
4) Mengetahui
dampak utang luar negeri pemerintah Indonesia terhadap pembangunan nasional.
5) Mengetahui
strategi pengelolaan utang luar negeri pemerintah Indonesia.
2.
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran
Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan
Nasional
Tidak semua negara yang digolongkan
dalam kelompok negara dunia ketiga, atau negara yang sedang berkembang,
merupakan negara miskin, dalam arti tidak memiliki sumberdaya ekonomi. Banyak
negara dunia ketiga yang justru memiliki kelimpahan sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia. Masalahnya adalah kelimpahan sumberdaya alam tersebut masih
bersifat potensial, artinya belum diambil dan didayagunakan secara optimal.
Sedangkan sumberdaya manusianya yang besar, belum sepenuhnya dipersiapkan,
dalam arti pendidikan dan ketrampilannya, untuk mampu menjadi pelaku
pembangunan yang berkualitas dan berproduktivitas tinggi. Pada kondisi yang
seperti itu, maka sangatlah dibutuhkan adanya sumberdaya modal yang dapat
digunakan sebagai katalisator pembangunan, agar pembangunan ekonomi dapat
berjalan dengan lebih baik, lebih cepat, dan berkelanjutan. Dengan adanya
sumberdaya modal, maka semua potensi kelimpahan sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia dimungkinkan untuk lebih didayagunakan dan dikembangkan.
Tetapi,
pada banyak negara yang sedang berkembang, ketidaktersediaan
sumberdaya modal
seringkali menjadi kendala utama. Dalam beberapa hal, kendala tersebut
disebabkan karena rendahnya tingkat pemobilisasian modal di dalam negeri. Beberapa
penyebabnya antara lain:
(1) Pendapatan
per kapita penduduk yang umumnya relatif rendah, menyebabkan tingkat MPS (marginal
propensity to save) rendah, dan pendapatan pemerintah dari sektor pajak,
khususnya penghasilan, juga rendah.
(2) Lemahnya
sektor perbankan nasional menyebabkan dana masyarakat, yang memang terbatas
itu, tidak dapat didayagunakan secara produktif dan efisien untuk menunjang pengembangan
usaha yang produktif.
(3) Kurang
berkembangnya pasar modal, menyebabkan tingkat kapitalisasi pasar yang rendah,
sehingga banyak perusahaan yang kesulitan mendapatkan tambahan dana murah dalam
berekspansi. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang sangat terbatas
seperti itu, jelas tidak dapat diandalkan untuk mampu mendukung tingkat
pertumbuhan output nasional yang tinggi seperti yang diharapkan.
Solusi
yang dianggap bisa diandalkan untuk mengatasi kendala rendahnya
mobilisasi modal
domestik adalah dengan mendatangkan modal dari luar negeri, yang umumnya dalam
bentuk hibah (grant), bantuan pembangunan (official development assistance),
kredit ekspor, dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral;
investasi swasta langsung (PMA); portfolio invesment; pinjaman bank dan pinjaman
komersial lainnya; dan kredit perdagangan (ekspor/impor). Modal asing ini dapat
diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada pihak swasta.
Banyak
pemerintah di negara dunia ketiga menginginkan untuk mendapatkan modal asing
dalam menunjang pembangunan nasionalnya, tetapi tidak semua berhasil mendapatkannya,
kalau pun berhasil jumlah yang didapat akan bervariasi tergantung pada beberapa
faktor antara lain (ML. Jhingan : 1983, halaman 643-646):
1. Ketersediaan
dana dari negara kreditur yang umumnya adalah negara-negara
industri maju.
2. Daya serap
negara penerima (debitur). Artinya, negara debitur akan mendapat
bantuan modal asing sebanyak yang dapat
digunakan untuk membiayai investasi yang bermanfaat. Daya serap mencakup
kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek pembangunan,
mengubah struktur perekonomian, dan mengalokasikan kembali resources.
Struktur perekonomian yang simultan dengan pendayagunaan kapasitas nasional
yang ada akan menjadi landasan penting bagi daya serap suatu negara.
3. Ketersediaan
sumber daya alam dan sumberdaya manusia di negara penerima,
karena
tanpa ketersediaan yang cukup dari kedua sumberdaya tersebut dapat
menghambat
pemanfaatan modal asing secara efektif.
4. Kemampuan
negara penerima bantuan untuk membayar kembali (re-payment).
5. Kemauan dan usaha
negara penerima untuk membangun. Modal yang diterima dari luar negeri tidak dengan
sendirinya memberikan hasil, kecuali jika disertai dengan usaha untuk
memanfaatkan dengan benar oleh negara penerima. Sebagaimana dikatakan Nurkse
(1961: 83), bahwa modal sebenarnya dibuat di dalam negeri. Sehingga, peranan
modal asing sebenarnya adalah sebagai sarana efektif untuk memobilisasi
keinginan suatu negara.
Sekarang
ini dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia, termasuk dalam bidang
finansial, menyebabkan arus modal asing semakin leluasa keluar masuk suatu
negara. Pada banyak negara yang sedang berkembang, modal asing seolah-olah
telah menjadi salah satu modal pembangunan yang diandalkan. Bahkan, beberapa negara
saling berlomba untuk dapat menarik modal asing sebanyak-banyaknya dengan cara
menyediakan berbagai fasilitas yang menguntungkan bagi para investor dan kreditur.
Khusus
modal asing dalam bentuk pinjaman luar negeri kepada pemerintah, baik yang
bersifat grant; soft loan; maupun hard loan, telah mengisi
sektor penerimaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (government
budget) yang selanjutnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah
dan proyek-proyek pembangunan negara atau investasi pemerintah di sektor
publik. Dengan mengingat bahwa peran pemerintah yang masih menjadi penggerak
utama perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang,
menyebabkan pemerintah membutuhkan banyak modal untuk membangun berbagai
prasarana dan sarana, sayangnya kemampuan finansial yang dimiliki pemerintah
masih terbatas atau kurang mendukung. Dengan demikian, maka pinjaman (utang)
luar negeri pemerintah menjadi hal yang sangat berarti sebagai modal bagi
pembiayaan pembangunan perekonomian nasional. Bahkan dapat dikatakan, bahwa
utang luar negeri telah menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan
perekonomian nasional yang cukup penting bagi sebagian besar negara yang sedang
berkembang, termasuk Indonesia. link
2.2
Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Utang Luar Negeri
Pemerintah Indonesia
Sebagaimana
dijelaskan dalam gambaran umum mengenai hutang luar negeri, terdapat beberapa
factor yang menyebabkan munculnya hutang luar negeri antara lain karena :
1.
Kurangnya
tabungan dalam negeri (saving-investment
gap)
2. Kurangnya kemampuan menghasilkan devisa (foreign exchange gap)
Logika two gaps berawal dari konsep Harold Domar yang menyatakan pembangunan berdasarkan pada
pembentukan modal. Model ini pada awalnya cukup ampuh diterapkan seperti di
Jepang melalui Marshal Plane. Konsep ini dikenal dengan Debt Led Growthà industri
substitusi impor, intervensi negara dan terbukanya
pintu terhadap modal asing.
Secara metodologis, hubungan ketiga jenis defisit di atas dapat dijelaskan
melalui identitas pendapatan nasional (national
income identity). Dalam konteks
ekonomi makro terbuka, identitas pendapatan nasional dapat dilihat dari sisi
pengeluaran agregat dan sisi pendapatan agregat, masing-masing dituliskan
sebagai berikut (Hyman,
1992:606-608) :
Y º C + I + G + (X –
M) [2.1]
Y
º C + S + T [2.2]
dimana :
Y = produk domestik bruto
C = konsumsi
I = investasi
G = pengeluaran pemerintah
X = ekspor barang dan jasa
M = impor barang dan jasa
S = tabungan domestik
T = penerimaan pemerintah di luar bantuan asing
(penerimaan pajak).
Selanjutnya, tabungan domestik pada
persamaan [2.2] dapat dipilah menjadi tabungan masyarakat (SP) dan
tabungan pemerintah (SG) (Alun, 1992:31):
S º SP
+ SG [2.3a]
Karena
tabungan pemerintah sama dengan pendapatan pajak dikurangi pengeluaran
pemerintah (T - G), maka :
S º SP + (T -
G) [2.3b]
Berdasarkan persamaan identitas [2.1]-[2.3b],
kita dapat melihat keterkaitan ketiga jenis defisit di atas seperti di bawah
ini (Alun, 1992:32; Gordon,
1993:379) :
SP + (T -
G) º I
+ (X - M) [2.4a]
atau :
(SP
- I) + (T - G) º (X - M) [2.4b]
dimana :
X
- M = defisit transaksi berjalan
T
- G = defisit anggaran pemerintah
SP - I = defisit tabungan-investasi swasta
Selanjutnya,
hubungan defisit-defisit di atas dengan utang luar negeri dapat diuraikan sebagai
berikut. Misalkan :
Dlt = utang luar negeri jangka panjang
Dst = utang luar negeri jangka pendek
If = penanaman modal asing langsung
Ip = investasi portofolio (PMA tidak langsung)
Rt - Rt-1= perubahan cadangan devisa
u = variabel pengganggu,
maka kaitan utang luar negeri dengan defisit transaksi
berjalan dan defisit anggaran pemerintah dapat diformulasikan :
Dlt + Dst
+ If + Ip
= (X - M) + (Rt - Rt-1) + u [2.5]
2.3
Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia
Indonesia merupakan salah satu
negara dunia ketiga. Sebelum terjadinya krisis moneter di kawasan Asia
Tenggara, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Hal
tersebut sejalan dengan strategi pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh
pemerintah pada waktu itu, yang menempatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi sebagai target prioritas pembangunan ekonomi nasional. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia sejak akhir tahun 1970-an selalu positif, serta tingkat pendapatan
per kapita yang relatif rendah, menyebabkan target pertumbuhan ekonomi yang
relatif tinggi tersebut tidak cukup dibiayai dengan modal sendiri, tetapi harus
ditunjang dengan menggunakan bantuan modal asing. Utang luar negeri Indonesia
lebih didominasi oleh utang swasta. Berdasarkan data di Bank Indonesia, posisi
utang luar negeri pada Maret 2006 tercatat US$ 134 miliar, pada Juni 2006
tercatat US$ miliar dan Desember 2006 tercatat US$ 125,25 miliar. Sedangkan
untuk utang swasta tercatat meningkat dari US$ 50,05 miliar pada September
2006 menjadi US$ 51,13 miliar pada Desember 2006. Negara-negara donor bagi
Indonesia adalah:
1.
Jepang merupakan kreditur terbesar
dengan USD 15,58 miliar
3.
Bank Dunia (World Bank) sebesar USD 8,103 miliar.
5.
Pihak lain, baik bilateral maupun
multilateral sebesar USD 16,388 miliar.
Sayangnya tingkat pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi dalam beberapa tahun tersebut, tidak disertai dengan
penurunan jumlah utang luar negeri (growth with prosperity),
kecuali pada tahun 1994/1995 sampai 1995/1996 (lihat Tabel 1). Pemerintah yang
pada awalnya menjadi motor utama pembangunan terus menambah utang luar
negerinya agar dapat digunakan untuk membiayai pembangunan ekonomi nasional
guna mencapai target tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut,
tanpa disertai dengan peningkatan kemampuan untuk memobilisasi modal di dalam
negeri. Hal ini menandakan adanya korelasi yang positif antara keberhasilan
pembangunan ekonomi pada tingkat makro dan peningkatan jumlah utang luar negeri
pemerintah (growth
with indebtedness).
Sejalan dengan semakin meningkatnya
kontribusi swasta domestik dalam
pembangunan
ekonomi nasional, maka peran pemerintah pun menjadi semakin
berkurang.
Fenomena tersebut akhirnya menyebabkan struktur utang luar negeri
Indonesia juga
mengalami banyak perubahan selama kurun waktu tiga dasawarsa
terakhir.
Pada awalnya, utang luar negeri
Indonesia lebih banyak dilakukan oleh
pemerintah.
Pinjaman pemerintah tersebut diterima dalam bentuk hibah serta soft
loan dari
negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga supra nasional, baik secara
bilateral maupun
multilateral (IGGI dan CGI). Selanjutnya seiring dengan semakin berkembangnya perekonomian
Indonesia, pinjaman luar negeri bersyarat lunak menjadi semakin terbatas
diberikan, sehingga untuk keperluan-keperluan tertentu dan dalam jumlah yang
terbatas, pemerintah mulai menggunakan pinjaman komersial dan obligasi dari
kreditur swasta internasional.
Karena
semakin pesatnya pembangunan dan terbatasnya kemampuan pemerintah untuk secara
terus menerus menjadi penggerak utama pembangunan nasional, terutama sejak
krisis harga minyak dunia awal tahun 1980-an, menyebabkan pemerintah harus
mengambil langkah-langkah deregulasi di berbagai sector pembangunan. Hal
tersebut dimaksudkan untuk memberikan dorongan kepada peran serta swasta dalam
pembangunan perekonomian Indonesia, melalui peningkatan minat investasi di
berbagai sektor pembangunan yang diizinkan. Dengan semakin besarnya minat
investasi swasta, tapi tanpa didukung oleh sumber-sumber dana investasi di dalam
negeri yang memadai, telah mendorong pihak swasta melakukan pinjaman ke luar
negeri, baik dalam bentuk pinjaman komersial maupun investasi portofolio, yang tentu
saja pada umumnya dengan persyaratan pinjaman yang tidak lunak (bersifat komersial),
baik suku bunga maupun jangka waktu pembayaran kembali.
Meskipun
telah terjadi perubahan pada struktur utang luar negeri Indonesia, utang luar
negeri pemerintah masih menjadi hal perlu diperhatikan mengingat dampaknya
terhadap APBN yang sangat besar. romdankurkur
Dari
data Tabel 1 dapat diketahui, bahwa selama kurun waktu tahun 1984 sampai dengan
tahun 1998 pinjaman luar negeri pemerintah rata-rata menyumbang 19,25% pada
sektor penerimaan APBN RI. Bahkan pada tahun anggaran 1999/1998, dari total realisasi
penerimaan APBN RI yang sebesar Rp 215.130 milyar, 28,97%-nya dibiayai oleh
pinjaman luar negeri, juga untuk pertama kalinya dalam 15 tahun terakhir jumlah
utang luar negeri untuk bantuan program melebihi bantuan proyek. Pinjaman luar
negeri pemerintah yang sedemikian banyak pada tahun anggaran tersebut digunakan
untuk menutup defisit anggaran yang besar, akibat terjadinya krisis ekonomi di
Indonesia yang menyebabkan pengeluaran total pemerintah meningkat
68,47% dari
anggaran tahun sebelumnya. Penyumbang terbesar kenaikan pengeluaran pemerintah
yang sedemikian besar tersebut adalah kenaikan pada pos pembayaran cicilan
utang luar negeri dan bunganya yang jatuh tempo menjadi sebesar Rp 55,578 trilyun
atau meningkat 88,55% dari pos yang sama pada anggaran tahun sebelumnya, sebagai
akibat dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Terjadinya krisis
ekonomi di Indonesia, menyebabkan pemerintah kembali harus menjadi penggerak
utama untuk menyelamatkan perekonomian nasional yang terancam kebangkrutan,
menggantikan peranan sektor swasta yang merosot setelah beberapa tahun sebelum
krisis sempat mendominasi perekonomian nasional. Sehingga, pemerintah membutuhkan
tambahan dana yang besar untuk membiayai peningkatan pengeluarannya.
Tabel
1.
Pinjaman
Pemerintah Dan Penerimaan APBN
( dalam milyar
rupiah )
Oleh
karena untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri secara drastis
maupun melakukan
pinjaman dalam negeri (internal debt) tidak memungkinkan,
sebab beban
ekonomi yang diterima rakyat sudah begitu berat akibat krisis ekonomi, maka
jalan alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan berusaha memperoleh tambahan
dana pinjaman dari luar negeri. Hingga pada akhir tahun 1998 posisi utang luar
negeri pemerintah seluruhnya telah mencapai US $ 67.32 milyar, yang diperoleh dari
pinjaman komersial dan pinjaman non komersial (non-ODA dan ODA), atau 44,61%
dari total utang luar negeri Indonesia yang mencapai US $ 150.9 milyar.
2.4 Mengetahui
Dampak Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia terhadap Pembangunan Nasional
Setiap
tindakan ekonomi pasti mengandung berbagai konsekuensi, begitu juga halnya
dengan tindakan pemerintah dalam menarik pinjaman luar negeri. Dalam jangka
pendek, pinjaman luar negeri dapat menutup defisit APBN, dan ini jauh lebih baik
dibandingkan jika defisit APBN tersebut harus ditutup dengan pencetakan uang baru,
sehingga memungkinkan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dengan dukungan
modal yang relatif lebih besar, tanpa disertai efek peningkatan tingkat harga
umum (inflationary effect) yang tinggi. Dengan demikian pemerintah dapat
melakukan ekspansi fiskal untuk mempertinggi laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi berarti meningkatnya pendapatan nasional,
yang selanjutnya memungkinkan untuk meningkatnya pendapatan per kapita
masyarakat, apabila jumlah penduduk tidak meningkat lebih tinggi. Dengan
meningkatnya perdapatan per kapita berarti meningkatnya kemakmuran masyarakat.
Dalam
jangka panjang, ternyata utang luar negeri dapat menimbulkan permasalahan
ekonomi pada banyak negara debitur. Di samping beban ekonomi yang harus
diterima rakyat pada saat pembayaran kembali, juga beban psikologis politis yang
harus diterima oleh negara debitur akibat ketergantungannya dengan bantuan asing.
Sejak
krisis dunia pada awal tahun 1980-an, masalah utang luar negeri banyak negara
dunia ketiga, termasuk Indonesia, semakin memburuk. Negara-negara tersebut semakin
terjerumus dalam krisis utang luar negeri, walaupun ada kecenderungan bahwa
telah terjadi perbaikan atau kemajuan perekonomian di negara-negara itu. Peningkatan
pendapatan per kapita atau laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara
tersebut belum berarti bahwa pada negara-negara tersebut dengan sendirinya
telah dapat dikatagorikan menjadi sebuah negara yang maju, dalam arti struktur
ekonominya telah berubah menjadi struktur ekonomi industri dan perdagangan luar
negerinya sudah mantap. Sebab pada kenyataannya, besar-kecilnya jumlah utang
luar negeri yang dimiliki oleh banyak negara yang sedang berkembang lebih
disebabkan oleh adanya defisit current account, kekurangan dana
investasi pembangunan yang tidak dapat ditutup dengan sumber-sumber dana di
dalam negeri, angka inflasi yang tinggi, dan ketidakefisienan struktural di
dalam perekonomiannya.
Sehingga
meskipun secara teknis, pemerintahan suatu negara telah sempurna dalam upaya
pengendalian utang luar negerinya, pencapaian tujuan pembangunan akan sia-sia,
kecuali bila negara tersebut secara finansial benar-benar kuat, yaitu pendapatan
nasionalnya mampu memikul beban langsung yang berupa pembayaran cicilan pokok
pinjaman luar negeri dan bunganya (debt service) dalam bentuk uang kepada
kreditur di luar negeri, karena utang luar negeri selalu disertai dengan kebutuhan
devisa untuk melakukan pembayaran kembali. Pembayaran cicilan utang beserta
bunganya merupakan pengeluaran devisa yang utama bagi banyak negara-negara debitur.
Beban
utang luar negeri dapat diukur salah satunya dengan melihat proporsi penerimaan
devisa pada current account yang berasal dari ekpor yang diserap oleh seluruh
debt service yang berupa bunga dan cicilan utang. Jika rasio antara penerimaan
ekspor dan debt service menjadi semakin kecil, atau debt service
ratio (jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka
panjang di bagi dengan jumlah penerimaan ekspor) semakin besar, maka
beban utang luar negeri semakin berat dan serius. Namun, makna dari besarnya
angka DSR ini tidak mutlak demikian, sebab ada negara yang DSR-nya 40%, tetapi
relatif tidak menemui kesulitan dalam perekonomian nasionalnya. Sebaliknya,
bisa terjadi suatu negara dengan DSR yang hanya sebesar kurang dari 10%
menghadapi kesulitan yang cukup serius dalam perekonomiannya. Selama ada
keyakinan dari negara kreditur (investor) bahwa telah terjadi perkembangan
ekonomi yang baik di negara debiturnya, maka pembayaran kembali pinjaman
diprediksikan akan dapat diselesaikan dengan baik oleh negara debitur.
Tabel
2
Debt Service Ratio (DSR)
Pemerintah Indonesia
Menurut
Susan George (1992), utang luar negeri secara pragmatis justru menjadi boomerang
bagi negara penerima (debitur). Perekonomian di negara-negara penerima utang
tidak menjadi semakin baik, melainkan bisa semakin hancur. Hal tersebut merupakan
salah satu kesimpulan dari hasil penelitiannya yang menunjukan, bahwa pada
tahun 1980-an arus modal yang mengalir dari negara-negara industri maju, yang umumnya
merupakan negara kreditur, ke negara-negara yang sedang berkembang dalam bentuk
bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, dan
arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta
langsung (PMA); portfolio invesment; pinjaman bank; dan kredit
perdagangan (ekspor/impor), lebih kecil daripada arus aliran dana dari
negara-negara yang sedang berkembang ke negara-negara maju tersebut dalam
bentuk cicilan pokok utang luar negeri dan bunganya, royalti, deviden, dan
keuntungan repatriasi dari perusahaanperusahaan negara maju yang berada di
negara-negara yang sedang berkembang.
Penelitian
Susan George ini memperkuat argumentasi yang pernah disampaikan G.J. Meier
(1970), bahwa arus modal asing dari negara maju ke negara dunia ketiga tidak
pernah meningkat, dan masalah pelunasan utang luar negeri semakin memberatkan,
karena itu surplus impor yang ditunjang modal asing semakin merosot, dan
pengalihan sumber-sumber di luar impor yang didasarkan pada ekspor menjadi relatif
tidak penting bagi sebagian besar negara dunia ketiga. Selama kendala devisa
ini tidak bisa diatasi, negara kurang maju tidak dapat memenuhi kebutuhan
impornya bagi program pembangunan. Akibatnya negara dunia ketiga itu terpaksa
menempuh salah satu atau gabungan dari kebijaksanaan berikut ini: mengurangi
laju pembangunan negara, mengembangkan ekspor dan melakukan subtitusi impor
untuk memperbaiki term of trade, atau merangsang arus bantuan luar
negeri lebih besar lagi.
Akibat
semakin banyaknya negara-negara yang terjerumus dalam krisis utang luar negeri,
menyebabkan IMF dan Bank Dunia terpaksa menganjurkan kepada negara-negara
tersebut untuk melakukan program penyesuaian struktural (structural adjustment)
terhadap perekonomian dalam negeri, misalkan dengan pengurangan atau penghapusan
berbagai macam subsidi bahan bakar minyak dan kebutuhan pokok lainnya;
penundaan kenaikan gaji pegawai negeri; dan berbagai macam kebijaksanaan kontraksi
fiskal lainnya, sebagai syarat utama untuk mendapatkan pengurangan utang atau
memperoleh pinjaman baru. Hal ini terjadi pula di Indonesia.
Berdasarkan
data Tabel 3, pembayaran cicilan pokok utang luar negeri pemerintah dan
bunganya selama 15 tahun terakhir rata-rata 25,47% dari total pengeluaran dalam
APBN RI. Hal tersebut dirasa cukup memberatkan APBN RI. Bercermin pada dampak
negatif dari akibat membesarnya utang luar negeri yang terjadi di negara-negara
Amerika Latin, masa sekitar krisis ekonomi di Meksiko, pada tahun 1996
pemerintah Indonesia sebenarnya telah merencanakan untuk membayar sebagian
besar jumlah utang luar negerinya lebih cepat dari waktu pembayaran yang
sebenarnya. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan preventif agar Indonesia
terhindar dari krisis utang luar negeri. Juga, agar dapat lebih mempersiapkan
diri memasuki tahap tinggal landas ( take-off ), sebab menurut W.W.
Rostow (1985), suatu negara bisa tinggal landas jika tidak lagi tergantung
kepada utang luar negeri. Dia berpendapat, bahwa masalah utang luar negeri
sebagai kendala serius bagi banyak negara yang sedang berkembang untuk bisa
masuk dalam tahap take-off. Hal ini dibuktikan dalam pengamatannya yang
dilakukan selama tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1980-an, dengan
kesimpulan bahwa banyak negara yang sedang berkembang yang diperkirakan akan
masuk ke tahap tinggal landas justru semakin tergantung dan terjerat masalah
utang luar negeri. Tapi tampaknya komitmen pemerintah tersebut tidak berlangsung
lama karena terjadinya krisis moneter di Asia Tenggara dan Timur pada
pertengahan tahun 1997.
Pada
tahun anggaran 1998/1999, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri
pemerintah yang jatuh tempo meningkat 136,07% dari tahun anggaran sebelumnya
sebagai akibat dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah secara tajam terhadap
dolar Amerika. Pembayaran kembali utang luar negeri yang meningkat dalam jumlah
besar tersebut dilakukan oleh pemerintah tidak semata-mata dengan menggunakan
dana dari penerimaan dalam negeri, tetapi dengan terpaksa juga menggunakan
bantuan dana (utang luar negeri) dari IMF. Jadi, utang luar negeri yang lama
dibayar dengan utang luar negeri yang baru. Ini artinya Indonesia telah terjerumus
dalam krisis utang luar negeri.
Akibat
dari adanya bantuan IMF dalam jumlah yang sangat besar tersebut, menyebabkan
pemerintah Indonesia harus menerima berbagai persyaratan pinjaman dari IMF,
yang ditandai dengan penandatanganan letter of intent (LoI) antara pemerintah
Indonesia dengan IMF. Artinya, pemerintah Indonesia memberikan peluang bagi IMF
untuk ikut serta dalam perancangan dan pembuatan banyak keputusan penting di
bidang ekonomi, yang menyangkut penyesuaian kebijakan makroekonomi dan
reformasi struktural. Ini adalah hal yang wajar terjadi, karena tidak ada
kreditur yang rela pinjamannya tidak kembali akibat kesalahan urus debiturnya.
2.5 Strategi
Pengelolaan Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia
Dalam rangka mendukung kebutuhan
pembiayaan yang makin besar dan mencapai tujuan jangka panjang pengelolaan
utang, untuk meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali,
disusun strategi pengelolaan utang negara tahun 2010–2014. Strategi tersebut
dituangkan ke dalam strategi umum sebagai pedoman pokok pengelolaan utang, dan
strategi khusus sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan utang yang dirinci
berdasarkan instrumen utang dalam bentuk sekuritas dan non sekuritas. Adapun fokus strategi pengelolaan utang tahun
2010-2014 adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan utang, yang dirinci menjadi:
a.
SBN
(Surat Berharga Negara)
Peningkatan likuiditas dan daya
serap pasar SBN domestik dalam rangka efisiensi biaya pengelolaan utang.
b.
Pinjaman
Peningkatan kualitas pengelolaan
pinjaman dalam rangka efisiensi biaya pengelolaan utang.
Adapun
strategi umum pengelolaan utang adalah sebagai berikut:
a.
Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber domestik melalui penerbitan
SBN Rupiah maupun penarikan pinjaman dalam negeri;
b.
Melakukan pengembangan instrumen utang agar diperoleh fleksibilitas dalam
memilih berbagai instrumen yang lebih sesuai, cost-efficient dan risiko
yang minimal;
c.
Pengadaan pinjaman luar negeri dilakukan sepanjang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan prioritas, memberikan terms & conditions yang wajar (favourable)
bagi Pemerintah, dan tanpa agenda politik dari kreditor;
d.
Mempertahankan kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri dalam periode jangka
menengah;
e.
Meningkatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan otoritas pasar modal,
terutama dalam rangka mendorong upaya financial deepening; dan
f.
Meningkatkan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka
meningkatkan efisiensi pengelolaan pinjaman dan sovereign credit rating.
Manajemen
krisis utang utang luar negeri:
1. Pemilahan
penanganan utang swasta dan pemerintah, diantaranya dengan:
a. Penjadwalan
utang kembali (rescheduling)
1) Perpanjangan
tenggang waktu pengembalian
2) Pengurangan
tingkat bunga
3)
Pengunduran waktu pengembalian
4)
Keringanan utang
b. Penghapusan
utang (cut hair)
c. Konversi
2. Untuk
utang swasta bentuk penjadwalan yang dapat dilakukan :
a. Bridging
Loan: Pinjaman sementara yang diberikan untuk membiayai masa krisis hingga
diperoleh pinjaman baru.
b. Paket
IMF: Pelaksanaan paket kebijakan IMF sebelum perjanjian penjadwalan kembali
disetujui.
c. Penundaan
pembayaran utang pokok dan hanya membayar bunganya dengan tingkat bunga
tertentu.
d. Pemberian
pinjaman baru dengan suku bunga pasar
3. Pembayaran
utang berdampak pada membesarnya dana yang lari ke luar negeri. Kebijakan yang
dapat dilakukan, antara lain :
a. Kebijakan
devaluasi
b. Pembatasan
ekspan kredit
c. Menurunkan
defisit anggaran
d. Penghapusan
subsidi harga
3.
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Pinjaman
(utang) luar negeri pemerintah menjadi hal yang sangat berarti sebagai modal
bagi pembiayaan pembangunan perekonomian nasional. Bahkan dapat dikatakan,
bahwa utang luar negeri telah menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan
perekonomian nasional yang cukup penting bagi sebagian besar negara yang sedang
berkembang, termasuk Indonesia.
Terdapat beberapa factor yang
menyebabkan munculnya hutang luar negeri antara lain karena kurangnya tabungan dalam negeri (saving-investment gap) dan kurangnya kemampuan menghasilkan devisa (foreign exchange gap).
Terjadinya
krisis ekonomi di Indonesia, yang didahului oleh krisis moneter di Asia Tenggara,
telah banyak merusakkan sendi-sendi perekonomian negara yang telah dibangun
selama PJP I dan awal PJP II. Penyebab utama terjadinya krisis ekonomi di Indonesia,
juga sebagian negara-negara di ASEAN, adalah ketimpangan neraca pembayaran
internasional. Defisit current account ditutup dengan surplus capital
account, terutama dengan modal yang bersifat jangka pendek (portfolio
invesment), yang relatif fluktuatif. Sehingga, apabila terjadi rush akan
mengancam posisi cadangan devisa negara, akhirnya akan mengakibatkan terjadinya
krisis nilai tukar mata uang nasional terhadap valuta asing. Hal inilah yang
menyebabkan beban utang luar negeri Indonesia, termasuk utang luar negeri
pemerintah, bertambah berat bila dihitung berdasarkan nilai mata uang rupiah.
Semakin
bertambahnya utang luar negeri pemerintah, berarti juga semakin
memberatkan
posisi APBN RI, karena utang luar negeri tersebut harus dibayarkan
beserta dengan
bunganya. Ironisnya, semasa krisis ekonomi, utang luar negeri itu
harus dibayar
dengan menggunakan bantuan dana dari luar negeri, yang artinya sama saja dengan
utang baru, karena pada saat krisis ekonomi penerimaan rutin
pemerintah,
terutama dari sektor pajak, tidak dapat ditingkatkan sebanding dengan
kebutuhan
anggaran belanjanya.
Setiap tindakan ekonomi pasti
mengandung berbagai konsekuensi baik konsekuensi jangka pendek maupun jangka
panjang, begitu juga halnya dengan tindakan pemerintah dalam menarik pinjaman
luar negeri.
Strategi pengelolaan utang tahun 2010-2014 adalah
meningkatkan efisiensi pengelolaan utang, yang dirinci menjadi SBN dan
pinjaman. Sedangkan, manajemen krisis utang utang luar negeri
antara lain, pemilahan penanganan utang swasta dan pemerintah, bentuk
penjadwalan untuk utang swasta, dan membuat kebijakan yang dapat mencegah
membesarnya dana yang lari ke luar negeri akibat pembayaran utang.