Sabtu, 19 Oktober 2013

Permasalahan Pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun salah satu permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu mahalnya biaya pendidikan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2. Apakah penyebab mahalnya biaya pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari masalah mahalnya biaya pendidikan?

C. Tujuan
1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab mahalnya biaya pendidikan di Indonesia.
3. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.

  

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000,  sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

B. Sebab-sebab Mahalnya Biaya Pendidikan                                          
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
Seragam sekolah adalah penyebab pertama mahalnya biaya bersekolah para siwa di Indonesia. Tanpa disadari, komponen kecil yang satu ini menjadi momok tersendiri bagi para orang tua murid dan murid sekolah di Indonesia.
Beban biaya sekolah juga disebabkan oleh komponen buku pelajaran. Dari dulu sampai sekarang, orang tua murid harus menyediakan sendiri buku pelajaran sekolah bagi anak-anak mereka. Buku apa yang digunakan oleh murid sekolah tergantung dari persetujuan bisnis antara pihak sekolah dan penerbit buku. Biaya-biaya tambahan saat bersekolah menjadi penyebab ketiga dari mahalnya bersekolah di Indonesia.
Biasanya, pengeluaran rutin orang tua murid untuk biaya sekolah anaknya adalah:
1.        Iuran sekolah (bulanan, puji syukur kalau tidak pernah naik)
2.         Seragam (tahunan, syukur kalau badan anaknya tidak melebar ke samping)
3.         Buku pelajaran (tahunan, Berat memang kalau anak terus naik kelas tapi       siapa yang mau anaknya tidak pernah naik kelas)
4.        Biaya Study Tour (biasanya cuma sekali, buat SMP dan SMA, dan ini juga tergantung tempat tujuan kunjungannya, makin jauh makin mahal)
Sayangnya, pengeluaran rutin ini menjadi tidak rutin apabila sekolah menambahkan biaya lain yang tidak jelas. Misalnya biaya acara pesta perpisahan untuk murid tingkat akhir. Biaya ini harusnya tidak dibebanka bagi murid kelas satu dan dua. Kalau murid kelas tiga ingin mengadakan pesta perpisahan sendiri, mereka harusnya mengumpulkan uang dari diri mereka sendiri. Contoh biaya tidak jelas lainnya adalah penggalangan dana untuk keperluan yang dibuat-dibuat, seperti, pelepasan pensiun pegawai sekolah, pembelian sarana sekolah, penggalangan dana untuk guru yang sedang berduka atau melahirkan, dan lainnya. Permasalahan ini menjadi berat kerena, terkadang, biaya sekolah yang tidak rutin ini sifatnya tidak boleh sukarela.
Dari hal yang sudah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa menggratiskan biaya sekolah di Indonesia adalah hal yang hampir mustahil. Ini sangat diyakini karena pemerintah Indonesia tidak akan pernah punya uang untuk memberi seragam apalagi memperbaharui seragam sekolah setiap murid di Indonesia. Pemeritah juga tidak akan sanggup memberikan buku-buku gratis apabila kurikulum nasional terlalu sering berganti-ganti. Dan yang lebih mustahil adalah membuat anggaran untuk mendanai kegiatan-kegiatan sekolah yang di luar kurikulum dan di luar urusan mengajar belajar. Karena itu, setiap usaha untuk menggratiskan biaya bersekolah para murid di negara ini sebaiknya dialihkan pada pencarian cara untuk mengurangi biaya sekolah para murid-murid Indonesia. Sikap ini jauh lebih realistis.

C.  Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Masalah pendidikan di Indonesia, khususnya masalah biaya pendidikan yang mahal memang menjadi suatu masalah yang harus mendapat perhatian dari pemerintah.

Biaya pendidikan yang mahal menyebabkan banyak anak yang harusnya bersekolah tetapi mereka harus tidak bersekolah karena ketidakmampuan atau keterbatasan dalam biaya.

1 komentar:

Ada barang baru n barang lama turun harga :)
Buat semua hp, gadget, smartphone, laptop, tablet, dll

makro wide fisheye (3in1) jepit clip cuma 125rb
makro wide magnet cuma 80rb
makro wide clip cuma 90rb
fish eye clip cuma 100rb
tele tripot holder 225rb
tongsis 125rb
dan produk terbaru kami
FISH EYE 235derajat cuma 170rb

hub sms dan whatsapp 085746668989
pin bbm 24b269b5
kunjungi juga blog kami
http://romdankurkur.blogspot.com

4 Mei 2014 pukul 10.10

Posting Komentar

romdankurkur itu Romdan