BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini
dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat
pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan,
bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara
di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105
(1998), dan ke-109 (1999).
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan
tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih
banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh
setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah
menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk
pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber
daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di
negara-negara lain.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah
efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi
masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun salah satu permasalahan khusus
dalam dunia pendidikan yaitu mahalnya biaya pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2. Apakah penyebab mahalnya biaya pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana solusi yang dapat diberikan
dari masalah mahalnya
biaya pendidikan?
C. Tujuan
1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi
penyebab mahalnya
biaya pendidikan di Indonesia.
3. Mendeskripsikan solusi yang dapat
diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ciri-ciri
Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari
tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di
sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa
Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui
pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui
ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di
asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui
radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu
akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau
perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka
pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal,
pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
Mahalnya Biaya
Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam
bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut
di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia
pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah
adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan
rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk
Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan
perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung
jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya
tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan
pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya
pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan
publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap
tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor
yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana
pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan
dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN
(www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi
melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada
privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan,
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network
for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan
privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke
pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang
sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan
hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini
berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa
pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di
Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang
lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah.
Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
B. Sebab-sebab Mahalnya Biaya
Pendidikan
Pendidikan berkualitas memang
tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi
persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci
tangan’.
Seragam sekolah adalah penyebab pertama mahalnya biaya bersekolah para
siwa di Indonesia. Tanpa disadari, komponen kecil yang satu ini menjadi momok
tersendiri bagi para orang tua murid dan murid sekolah di Indonesia.
Beban biaya sekolah juga disebabkan oleh komponen buku pelajaran. Dari
dulu sampai sekarang, orang tua murid harus menyediakan sendiri buku pelajaran
sekolah bagi anak-anak mereka. Buku apa yang digunakan oleh murid sekolah
tergantung dari persetujuan bisnis antara pihak sekolah dan penerbit buku.
Biaya-biaya tambahan saat bersekolah menjadi penyebab ketiga dari mahalnya
bersekolah di Indonesia.
Biasanya, pengeluaran rutin orang tua murid untuk biaya sekolah anaknya
adalah:
1.
Iuran sekolah (bulanan, puji syukur kalau tidak pernah
naik)
2.
Seragam (tahunan, syukur kalau badan anaknya
tidak melebar ke samping)
3.
Buku pelajaran (tahunan, Berat memang kalau anak
terus naik kelas tapi siapa yang
mau anaknya tidak pernah naik kelas)
4.
Biaya Study Tour (biasanya cuma sekali, buat SMP dan
SMA, dan ini juga tergantung tempat tujuan kunjungannya, makin jauh makin
mahal)
Sayangnya, pengeluaran rutin ini menjadi tidak rutin apabila sekolah
menambahkan biaya lain yang tidak jelas. Misalnya biaya acara pesta perpisahan
untuk murid tingkat akhir. Biaya ini harusnya tidak dibebanka bagi murid kelas
satu dan dua. Kalau murid kelas tiga ingin mengadakan pesta perpisahan sendiri,
mereka harusnya mengumpulkan uang dari diri mereka sendiri. Contoh biaya tidak
jelas lainnya adalah penggalangan dana untuk keperluan yang dibuat-dibuat,
seperti, pelepasan pensiun pegawai sekolah, pembelian sarana sekolah,
penggalangan dana untuk guru yang sedang berduka atau melahirkan, dan lainnya.
Permasalahan ini menjadi berat kerena, terkadang, biaya sekolah yang tidak
rutin ini sifatnya tidak boleh sukarela.
Dari hal yang sudah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa
menggratiskan biaya sekolah di Indonesia adalah hal yang hampir mustahil. Ini
sangat diyakini karena pemerintah Indonesia tidak akan pernah punya uang untuk
memberi seragam apalagi memperbaharui seragam sekolah setiap murid di
Indonesia. Pemeritah juga tidak akan sanggup memberikan buku-buku gratis
apabila kurikulum nasional terlalu sering berganti-ganti. Dan yang lebih
mustahil adalah membuat anggaran untuk mendanai kegiatan-kegiatan sekolah yang
di luar kurikulum dan di luar urusan mengajar belajar. Karena itu, setiap usaha
untuk menggratiskan biaya bersekolah para murid di negara ini sebaiknya
dialihkan pada pencarian cara untuk mengurangi biaya sekolah para murid-murid
Indonesia. Sikap ini jauh lebih realistis.
C. Solusi dari Permasalahan-permasalahan
Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi
yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial
yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan
sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di
Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme
(mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut
perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan
mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang
ada.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang
berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan
masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masalah pendidikan di Indonesia, khususnya masalah biaya pendidikan yang
mahal memang menjadi suatu masalah yang harus mendapat perhatian dari
pemerintah.
Biaya pendidikan yang mahal menyebabkan banyak anak yang
harusnya bersekolah tetapi mereka harus tidak bersekolah karena ketidakmampuan
atau keterbatasan dalam biaya.
1 komentar:
Ada barang baru n barang lama turun harga :)
Buat semua hp, gadget, smartphone, laptop, tablet, dll
makro wide fisheye (3in1) jepit clip cuma 125rb
makro wide magnet cuma 80rb
makro wide clip cuma 90rb
fish eye clip cuma 100rb
tele tripot holder 225rb
tongsis 125rb
dan produk terbaru kami
FISH EYE 235derajat cuma 170rb
hub sms dan whatsapp 085746668989
pin bbm 24b269b5
kunjungi juga blog kami
http://romdankurkur.blogspot.com
Posting Komentar