BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di era globalisasi ini dapat dikatakan bahwa Praktek imperialisme merupakan praktek yang sesungguhnya belum sepenuhnya menghilang dari muka bumi. Masih banyak fakta yang menunjukkan bahwa praktek tersebut masih ada dan cenderung menguat. Hanya saja, praktek imperialisme pada masa kini lebih menyentuh pada sisi “dalam” sebuah negara, kebudayaan, atau peradaban. Salah satu praktek imperialisme yang sangat relevan dengan dunia intelektual disebut sebagai imperialisme akademis (academic imperialism) atau intelektual. Istilah ini dikeluarkan oleh Syed Hussein Alatas. Baginya, struktur imperialisme politik dan ekonomi menyebabkan berdirinya strukur yang parallel dalam cara berpikir golongan yang ditindas.
Dengan diadakannya perjanjian untuk perdagangan bebas ini maka hal ini akan semakin menggerogoti perekonomian Negara-negara yang sedang berkembang yang dimana hal ini apabila terjadi dalam beberapa puluh tahun kedepan akan menyebabkan semakin tertindasnya Negara-negara yang sedang berkembang, dengan kata lain kedaulatan-kedaulatan merekalah yang akan dipertaruhkan dan terancam karena dengan mulai memasukinya Negara-negara maju ke daerah-daerah plosok mereka hal ini akan mempermudah Negara-negara maju untuk mengeksploitasi Negara-negara berkembang.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini, antara lain :
1.2.1. Apakah yang dimaksud dengan imperialisme?
1.2.2. Apa ciri imperialisme dan politik ekonomi?
1.2.3. Apa akibat dari paham imperialisme kepada Negara-negara berkembang?
1.2.4. Apakah dampak imperialisme bagi indonesia?
1.3 Tujuan
Tujuan yang terdapat dalam makalah ini, antara lain :
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian imperialisme
1.3.2. Untuk mengetahui ciri imperialisme dan politik ekonomi
1.3.3. Untuk mengetahui dari paham imperialisme kepada Negara-negara berkembang
1.3.4. Untuk mengetahui dampak imperialisme bagi indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Imperialisme
Imperialisme ialah sebuah paham kebijakan di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Sebuah contoh praktik imperialisme terjadi saat negara-negara itu menaklukkan atau menempati tanah-tanah itu.
Imperialisme ialah politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi,kultur, agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan. Imperium disini tidak perlu berarti suatu gabungan dari jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri. Apakah beda antara imperialisme dan kolonialisme ? Imperialisme ialah politik yang dijalankan mengenai seluruh imperium. Kolonialisme ialah politik yang dijalankan mengenai suatu koloni, sesuatu bagian dari imperium jika imperium itu merupakan gabungan jajahan-jajahan.
Macam macam imperialisme
Lazimnya imperialisme dibagi menjadi dua:
- Imperialisme Kuno (Ancient Imperialism). Inti dari imperialisme kuno adalah semboyan gold, gospel, and glory (kekayaan, penyebaran agama dan kejayaan). Suatu negara merebut negara lain untuk menyebarkan agama, mendapatkan kekayaan dan menambah kejayaannya. Imperialisme ini berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugal.
- Imperialisme Modern (Modern Imperialism). Inti dari imperialisme modern ialah kemajuan ekonomi. Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, kemudian juga sebgai tempat penanaman modal bagi kapital surplus.
Pembagian imperialisme dalam imperialisme kuno dan imperialisme modern ini didasakan pada soal untuk apa si imperialis merebut orang lain.
Jika mendasarkan pendangan kita pada sektor apa yang ingin direbut si imperialis, maka kita akan mendapatkan pembagian macam imperialisme yang lain :
- Imperialisme politik. Si imperialis hendak mengusai segala-galnya dari suatu negara lain. Negara yang direbutnya itu merupakan jajahan dalam arti yang sesungguhnya. Bentuk imperialisme politik ini tidak umum ditemui di zaman modern karena pada zaman modern paham nasionalisme sudah berkembang. Imperialisme politik ini biasanya bersembunyi dalam bentuk protectorate danmandate.
- Imperialisme Ekonomi. Si imperialis hendak menguasai hanya ekonominya saja dari suatu negara lain. Jika sesuatu negara tidak mungkin dapat dikuasai dengan jalan imperialisme politik, maka negara itu masih dapat dikuasai juga jika ekonomi negara itu dapat dikuasai si imperialis. Imperialisme ekonomi inilah yang sekarang sangat disukai oleh negara-negara imperialis untuk menggantikan imperialisme politik.
- Imperialisme Kebudayaan. Si imperialis hendak menguasai jiwa (de geest, the mind) dari suatu negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa dari suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa dari bangsa itu. Si imperialis hendak melenyapkan kebudayaan dari suatu bangsa dan menggantikannya dengan kebudayaan si imperialis, hingga jiwa bangsa jajahan itu menjadi sama atau menjadi satu dengan jiwa si penjajah. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti mengusai segala-galnya dari bangsa itu. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena masuknya gampang, tidak terasa oleh yang akan dijajah dan jika berhasil sukar sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak sanggup lagi membebaskan diri.
- Imperialisme Militer (Military Imperialism). Si imperialis hendak menguasai kedudukan militer dari suatu negara. Ini dijalankan untuk menjamin keselamatan si imperialis untuk kepentingan agresif atau ekonomi. Tidak perlu seluruh negara diduduki sebagai jajahan, cukup jika tempat-tempat yang strategis dari suatu negara berarti menguasai pula seluruh negara dengan ancaman militer.
2.2 Ciri imperialisme dan politik ekonomi
Menurut Syed Hussein alatas, terdapat enam ciri imperialisme politik dan ekonomi yang juga dapat digunakan untuk mencirikan imperialisme intelektual. Baginya, struktur imperialisme politik dan ekonomi menyebabkan berdirinya strukur yang parallel dalam cara berpikir golongan yang ditindas. Berikut ciri penindasan tersebut :
1. Eksploitasi. Seperti halnya eksploitasi ekonomi, dimana bahan mentah diserap dari daerah jajahan, diproses di Barat dan kemudian dijual kembali sebagai barang siap pakai dengan harga yang sangat tinggi kepada negara jajahan, eksploitasi intelektual juga terjadi. Banyak ilmuwan dari Barat datang ke negara berkembang guna mengumpulkan data. Sekembalnya mereka ke Barat, data ini diproses sehingga menghasilkan pemikiran yang kemudian dijual dan disuguhkan kembali kepada negara-negara berkembang. Terkadang ilmuwan-ilmuwan Barat tidak menuliskan sumber-sumbernya.
2. Pengajaran. Dahulu, pada saat ingin mempekerjakan bangsa yang dijajah, kaum penjajah memberikan mereka pendidikan. Bagitu juga dalam konteks akademis, mentalitas yang mengatakan jka ingin meraih pendidikan bagus, pergilah ke universitas di Amerika, juga masih sangat nyata. Contoh lain adalah dahulu bangsa Eropa beranggapan bahwa jika mereka memberikan kemerdekaan pada bangsa jajahan, maka mereka tidak akan mengerti cara menjalankan negara. Oleh karena itu mereka harus diajarkan caranya oleh bangsa Eropa melalui proses kolonialisasi.
3. Konformitas. Konformitas adalah normalitas atau hal-hal yang sudah semestinya. Dahulu untuk dapat diterima, kaum terjajah harus berpakaian, makan, dan berbicara seperti orang Eropa. Hari ini, dalam bidang teori dan metodologi, para sarjana muslim diminta untuk menggunakan metode analisa yang sesuai dengan keinginan mereka di Barat. Sehingga jika kita menggunakan metode yang berbeda, pemikiran kita akan sulit untuk diterima.
4. Peranan sekunder yang diberikan pada bangsa terjajah. Dahulu bangsa Eropa mendudukui posisi penting , baik dalam pemerintahan, perkebunan, maupun instansi-instansi lain. Golongan pribumi hanya diberikan pekerjaan pembantu, buruh kasar dan petani. Sekarang para ilmuwan muslim dan ilmuwan dari negara berkembang hanya melakukan penelitian yang teraplikasi, bukan pemikiran kreatif. Bagi para ilmuwan di Barat, ilmuwan dari engara berkembang tidak perlu ikut serta dalam pemikiran kreatif karena hal tersebut sangat mahal. Untuk itu, lebih baik mereka memfokuskan diri pada penelitian yang dapat diaplikasikan.
5. Rasionalisasi misi peradaban. Dahulu, kaum kolonial mencoba merasionalisasi penjajahan dengan mengutarakan maksud untuk memajukan dan memperkenallkan peradaban kepada mereka yang tidak beradab. Saat ini, di negara berkembang terdapat perdebatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan yang telah ditentukan. Dari sinilah bangsa eropa memonopoli dan mendominasi ilmu pengetahuan.
6. Kecakapan inferior. Dahulu bangsa Eropa datang ke daerah jajahan adalah mereka yang mempunyai kecapakan inferior dbanding mereka yang tinggal di Eropa. Hanya orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan di Eropalah yang datang ke daerah jajahan untuk bekerja. Saat ini, begitu banyak ilmuwan asing yang bekerja di negara berkembang. Namun dapat kita lihat bahwa sebagian besar dari mereka adalah ilmuwan yang idak dapa mendapatkan pekerjaan di negara asal mereka. Namun bagi kita yang tinggal di negara berkembang, keberadaan mereka adalah suatu berkah
2.3 Akibat paham imperialisme kepada Negara-negara berkembang
Dalam praktik penerapan paham imperialisme ini ada berbagai dampak yang akan muncul, baik itu dampak negative maupun positif. Namun tidak bisa dipungkiri kalau lebih banyaknya dampak negative bagi Negara-negara yang sedang berkembang. Berikut pengelompokan dampak ataupun akibat dari paham imperialisme tersebut :
1. Akibat politik
1. Terciptanya tanah-tanah jajahan
2. Politik pemerasan
3. Berkorbarnya perang kolonial
4. Timbulnya politik dunia (wereldpolitiek)
2. Akibat Ekonomis
1. Negara imperislis merupakan pusat kekayaan, negara jajahan menjadi lembah kemiskinan
2. Industri si imperialis menjadi besar, perniagaan bangsa jajahan lenyap
3. Perdagangan dunia meluas
4. Adanya lalu-lintas dunia (wereldverkeer)
5. Kapital surplus dan penanamna modal di tanah jajahan
1. Si imperialis hidup mewah sementara yang dijajah serba kekurangan
2. Si imperialis maju, yang dijajah mundur
3. Rasa harga diri lebih pada bangsa penjajah, rasa harga diri kurang pada bangsa yang dijajah
4. Segala hak ada pada si imperialis, orang yang dijajah tidak memiliki hak apa-apa
5. Munculnya gerakan Eropa-isasi.
2.4 Dampak imperialisme bagi Indonesia
Imperialisme atau penjajahan dalam ruang kesadaran banyak orang, dianggap merupakan suatu kondisi masa lalu yang sudah dilewati. Bukankah sejak 17 Agustus 1945, negara kita Indonesia telah merdeka ? Ternyata imperialisme dalam bentuk penjajahan dan penguasaan bangsa penjajah yang telah dilalui oleh bangsa Indonesia hanyalah bagian kecil dari bentuk imperialisme.
Dalam situasi kekinian global, imperialisme tidak hanya berwujud perang untuk saling menguasai atau merebut teritori tertentu, namun imperialisme ternyata hadir dalam berbagai wujud dan penyamaran. Menariknya, imperialisme tersebut mengada dalam situasi sosial yang lagi asyik meneguk madu modernitas, kesenangan dan euforia terhadap produk teknologi dan tayangan media, yang tanpa disadari menjadi “musuh dalam selimut”.
Sebagai contohnya orang Minahasa (Sumatra utara) pun dalam keasyikannya menikmati kemajuan peradaban tersebut, tanpa sadar mereka telah terkungkung dalam penjajahan zaman yang hadir dalam berbagai wuju dan tanpa sadar sedang dijajah. Instalasi budaya asing semakin menggila menyerang bangunan identitas orang Minahasa. Fakta zaman dahulu menunjukan, bangsa yang hidup di Bumi Nusantara ini adalah bangsa yang besar. Demikian juga catatan sejarah menunjukan bahwa Minahasa merupakan salah satu bangsa yang besar dan kaya, bukan saja alamnya tetapi budayanya. Tapi kini, ratusan tahun kemudian, bangsa yang sudah turut mengikrarkan diri menjadi Indonesia ini malah mencapai titik terendahnya.
Kolonialisme memang memegang peranan penting bukan saja menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan, tetapi justru kerusakan yang paling parah terjadi pada aspek budaya yang dimulai dengan stigmatisasi terhadap kultur orisinil bangsa ini. Ketika kebulatan tekad dalam satu wadah Indonesia dicetuskan, model gerakan imperialisme pun semakin menjadi. Bangsa yang pluralistik ini, dibuat homogen untuk mudah dikontrol penguasa yang menjalankan pola sentralistik. Hasilnya adalah budayapun berhasil dikungkung dan di adudomba, terjadilah hegemoni antara budaya sentral dan periferal. Budaya Minahasa pun kena imbasnya.
Dimasa kini ketika kolonialisme angkat kaki dari bumi Indonesia, bukan berarti budaya lokal menjadi merdeka. Mesin-mesin globalisasi tanpa disadari menjadi agen instalasi budaya asing. Identitas pun makin kabur. Tanpa identitas hancurlah bangsa.
Dalam konteks Minahasa, fenomena kekaburan dan kekalahan budaya lokal nampak dalam karakter dan perilaku masyarakat di zaman sekarang ini. Sebut saja :
Dalam situasi kekinian global, imperialisme tidak hanya berwujud perang untuk saling menguasai atau merebut teritori tertentu, namun imperialisme ternyata hadir dalam berbagai wujud dan penyamaran. Menariknya, imperialisme tersebut mengada dalam situasi sosial yang lagi asyik meneguk madu modernitas, kesenangan dan euforia terhadap produk teknologi dan tayangan media, yang tanpa disadari menjadi “musuh dalam selimut”.
Sebagai contohnya orang Minahasa (Sumatra utara) pun dalam keasyikannya menikmati kemajuan peradaban tersebut, tanpa sadar mereka telah terkungkung dalam penjajahan zaman yang hadir dalam berbagai wuju dan tanpa sadar sedang dijajah. Instalasi budaya asing semakin menggila menyerang bangunan identitas orang Minahasa. Fakta zaman dahulu menunjukan, bangsa yang hidup di Bumi Nusantara ini adalah bangsa yang besar. Demikian juga catatan sejarah menunjukan bahwa Minahasa merupakan salah satu bangsa yang besar dan kaya, bukan saja alamnya tetapi budayanya. Tapi kini, ratusan tahun kemudian, bangsa yang sudah turut mengikrarkan diri menjadi Indonesia ini malah mencapai titik terendahnya.
Kolonialisme memang memegang peranan penting bukan saja menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan, tetapi justru kerusakan yang paling parah terjadi pada aspek budaya yang dimulai dengan stigmatisasi terhadap kultur orisinil bangsa ini. Ketika kebulatan tekad dalam satu wadah Indonesia dicetuskan, model gerakan imperialisme pun semakin menjadi. Bangsa yang pluralistik ini, dibuat homogen untuk mudah dikontrol penguasa yang menjalankan pola sentralistik. Hasilnya adalah budayapun berhasil dikungkung dan di adudomba, terjadilah hegemoni antara budaya sentral dan periferal. Budaya Minahasa pun kena imbasnya.
Dimasa kini ketika kolonialisme angkat kaki dari bumi Indonesia, bukan berarti budaya lokal menjadi merdeka. Mesin-mesin globalisasi tanpa disadari menjadi agen instalasi budaya asing. Identitas pun makin kabur. Tanpa identitas hancurlah bangsa.
Dalam konteks Minahasa, fenomena kekaburan dan kekalahan budaya lokal nampak dalam karakter dan perilaku masyarakat di zaman sekarang ini. Sebut saja :
· Sikap individualisme yang kontras dengan semangat mapalus dan tumou-tou (orang hidup untuk menghidupi orang lain).
· budaya ‘instant’, cari gampang, budaya shortcut atau jalan pintas yang kontras dengan nilai-nilai kerja keras dan sikap sebagai bangsa pejuang.
· Korupsi yang kontras dengan karakter anti papancuri yang mengakar dalam tradisi di hampir semua desa tempo dulu.
· Sikap ABS (Asal Bapak Senang), tidak kritis, yang sangat beda dengan karkater para pendahulu bangsa Minahasa yang sangat kritis dan cerdas, yang menjadi keunggulan orang Minahasa sejak dahulu.
Dalam kondisi seperti ini maka usaha yang perlu dilakukan bangsa ini adalah dengan melakukan gerakan-gerakan kultural / gerakan kebudayaan. Merumuskan sebuah gerakan kebudayaan harus memperhatikan kondisi obyektif lingkungan kebudayaan, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan eksternal. Minahasa harus mampu merumuskan strategi kebudayaan yang tepat untuk menghadapi imperialisme budaya zaman ini, kalau tidak mau terlindas roda sejarah
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Imperialisme ialah sebuah paham kebijakan di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Sebuah contoh praktik imperialisme terjadi saat negara-negara itu menaklukkan atau menempati tanah-tanah itu.
Praktek imperialisme pada masa kini lebih menyentuh pada sisi “dalam” sebuah negara, kebudayaan, atau peradaban. Salah satu praktek imperialisme yang sangat relevan dengan dunia intelektual disebut sebagai imperialisme akademis (academic imperialism) atau intelektual. Istilah ini dikeluarkan oleh Syed Hussein Alatas. Baginya, struktur imperialisme politik dan ekonomi menyebabkan berdirinya strukur yang parallel dalam cara berpikir golongan yang ditindas.
Menurut Syed Hussein alatas, terdapat enam ciri imperialisme politik dan ekonomi yang juga dapat digunakan untuk mencirikan imperialisme intelektual.
· Eksploitasi
· Pengajaran
· Konformitas
· Peranan sekunder yang diberikan kepada bangsa yang terjajah
· Rasionalisasi misi peradaban
· Kecakapan inferior
Dampak daripada imperialisme ini sendiri sekarang sudah tidak sepenuhnya terpaku pada gold, gospel, dan glory, tapi melainkan pada bidang politik, ekonomi, dan sosial.
3.2 Saran
Dalam kondisi seperti ini maka usaha yang perlu dilakukan bangsa ini adalah dengan melakukan gerakan-gerakan kultural / gerakan kebudayaan. Merumuskan sebuah gerakan kebudayaan harus memperhatikan kondisi obyektif lingkungan kebudayaan, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan eksternal.
0 komentar:
Posting Komentar