BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di
Indonesia, persoalan pekerja anak dan kelangsungan pendidikannya belakangan ini
kembali mencuat karena dipicu situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Anak
adalah aset bangsa yang sangat berharga, karena ditangan anak-anak tersebut
estafet keberadaan bangsa di masa datang terletak. Namun sebagai aset berharga,
tidak semua anak memperoleh haknya untuk dapat tumbuh dan berkembang
sebagaimana layaknya anak pada umumnya. Hal ini salah satunya dialami oleh anak
jalanan yang karena satu dan lain hal haknya sebagai anak tidak dapat terpenuhi
dengan baik. Di beberapa wilayah banyak dijumpai kumpulan anak-anak usia
sekolah yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkeliaran di
jalan-jalan atau tempat umum lainnya. Mereka berkeliaran untuk mencari nafkah
atau mencari tambahan uang saku dengan berbagai cara, misalnya menjadi penjual
koran, pengamen, tukang parkir, pedagang asongan dan sebagainya.
Stigma
yang diberikan masyarakat kepada anak jalanan disebabkan dalam kehidupannya di
jalanan, baik secara pribadi maupun kelompok mereka berupaya mengembangkan sub
kultur dengan norma dan nilai yang berbeda dari yang berlaku secara umum. Di
satu sisi mungkin positif karena dapat melindungi keberadaan mereka, tapi di
sisi lainnya negatif. Hal ini disebabkan dari norma dan nilai yang tumbuh
tersebut, justru menyimpang dari norma dan nilai yang berlaku secara umum. Disamping itu
juga muncul perilaku sosial yang anormatif, seperti acuh tak acuh, dan sikap curiga yang berlebihan pada
orang di luar kelompoknya, susah diatur, liar, reaktif, sensitif, bebas dan
cenderung hanya bergaul atau berinteraksi dengan kelompoknya, masa bodoh, dll.
Banyak faktor yang
berpengaruh terhadap fenomena anak jalanan. Faktor makro yang memunculkan masalah
tersebut yaitu; pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, partisipasi sekolah pada
anak usia sekolah yang memunculkan drop-out. Sedangkan masalah mikro di
dalamnya tercakup; ajakan teman, desakan orang tua untuk mencari nafkah, rumah
tangga yang tidak harmonis, anak dengan orang tua single parent, dan ketidakpuasan terhadap sekolah atau guru.
Salah satu yang
termasuk anak jalanan yaitu anak-anak yang meminta-minta di tempat-tempat umum
(lampu merah, tempat pemakaman dan
lain-lain). Pemilihan anak
yang meminta-minta di TPU Ujung Berung sebagai tempat untuk melakukan observasi
dan interview didasarkan pada pertimbangan bahwa pada lingkungan yang ada di
sekitar TPU Ujung Berung ini cukup homogen dalam hal tingkat pendidikan dan
kondisi tempat tinggal para anak-anak yang meminta-minta dibandingkan jika pada
anak jalanan. Lingkungan anak jalanan lebih heterogen dan sangat bervariasi
seperti ada anak yang masih sekolah dan ada pula yang sudah tidak bersekolah
lagi. Selain itu pada anak jalanan ada yang memang membutuhkan uang namun
banyak juga yang hanya karena ikut-ikutan saja, tempat tinggal yang saling
berjauhan dan mungkin ada yang mengkoordinir mereka. Oleh karena itu,
berdasarkan pertimbangan tersebut anak yang meminta-minta di TPU Ujung
Berunglah yang dijadikan sebagai lokasi observasi dan interview karena
karakteristik dari anak-anak cukup sama (homogen) antara satu dengan yang
lainnya.
Sedangkan berdasarkan
data yang diperoleh di lapangan, didapatkan informasi bahwa di area TPU (Tempat Pemakaman Umum) Ujung Berung
ini banyak anak-anak usia sekolah yang meminta-minta di area makam saat sore
hari ketika pulang sekolah bahkan hal tersebut juga terjadi apabila ada yang
dimakamkan ketika jam anak sekolah.
Alasan anak-anak tersebut melakukan pekerjaan meminta-meminta pada dasarnya
adalah adanya ajakan dari temannya yang juga meminta-minta baik teman sekolah
maupun teman bermainnya. Pada umumnya mereka berasal dari keluarga yang kurang
mampu. Mereka bersekolah di sekolah yang
mendapat subsidi dari pemerintah. Biasanya orangtua mereka mengeluarkan biaya
untuk seragam dan uang saku. Uang yang mereka dapatkan digunakan untuk tambahan
uang saku mereka dan membantu orangtua untuk membeli kebutuhan pokok. Uang yang
mereka peroleh setiap harinya kurang
lebih Rp. 2.000,- sampai dengan Rp. 5.000,- pada hari biasa, apabila ada yang
meninggal kurang lebih Rp. 20.000,- dan meningkat pada hari raya yaitu mencapai
Rp. 100.000,-.
Kondisi tersebut
didukung dengan tidak adanya aturan yang diberikan oleh orangtuanya di dalam rumah.
Pada umumnya orangtua membiarkan anaknya meminta-minta dan bahkan ada yang
menyuruh anaknya meminta-minta. Hal tersebut terjadi karena adanya desakan
faktor ekonomi. Hasil uang yang didapatkan anak-anak tersebut digunakan sebagai
uang saku dan membantu orangtua membeli kebutuhan sehari-hari. Dari perilaku
meminta-minta yang dilakukan anak-anak tersebut, beberapa dari mereka ada yang
merasa malu dan merasa bersalah namun ada juga anak yang tidak merasa bersalah
dan mengganggap meminta-minta adalah suatu hal yang baik.
Anak yang menilai hal
yang dilakukan (perilaku meminta-minta) adalah hal yang baik dikarenakan mereka
beranggapan dengan meminta-minta mereka dapat membeli buku sendiri dan membantu
orangtua. Penilaian anak-anak mengenai apakah perilaku meminta-minta adalah hal
yang baik atau buruk termasuk ke dalam konsep moral. Moral berhubungan dengan
nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.
Nilai-nilai moral yang dimiliki oleh anak diperoleh secara bertahap sesuai dengan
taraf perkembangannya, yang mana menimbulkan kesadaran-kesadaran dan pengertian
akan apa, mengapa dan bagaimana sesuatu perbuatan itu dilakukan.
Hal tersebut sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Gunarsa (1992:38) tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan moral anak. Bagaimanapun lingkungan sangat penting
dalam meningkatkan kemampuan anak dalam melakukan penalaran moral, sehingga
perkembangan moral yang dimiliki senantiasa berkembang sesuai dengan harapan
dan nilai-nilai masyarakat pada umumnya.
Fenomena tersebut
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lassaigne (dalam Monks, 1981)
mengenai pengaruh orang tua dan kelompok teman sebaya pada pendapat remaja
mengenai moral, bahwa remaja membutuhkan baik orang tua maupun teman sebaya
sebagai penasehat dan pembimbing.
Kehidupan
meminta-minta tentunya akan mempunyai dampak terhadap perkembangan kepribadian
anak. Anak akan berperilaku sesuai dengan apa yang dia lihat sehari-hari, apa
yang menurut kelompoknya dianggap baik dan apa yang dapat digunakan untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga tidak jarang sesuatu yang
dianggap salah dan terlarang dalam masyarakat menjadi hal yang biasa dalam
kehidupannya.
Dari uraian diatas
dapat dinyatakan bahwa di dalam perkembangannya menuju ke tahap yang
berikutnya, individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan, baik itu lingkungan
keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat sekitarnya. Gunarsa (1992 : 38)
mengatakan bahwa tingkah laku bermoral adalah suatu yang diperoleh atau
dipelajari dari luar dirinya dan tentu saja faktor-faktor tersebut berada di
luar dirinya. Realitas pengalaman yang dihadapi tersebut, akan membangun skema
kognitif yang unik dari anak jalanan tentang lingkungan dengan perilakunya.
Realitas yang dimaksud adalah bagaimana mereka mendapatkan perlakuan dari
lingkungan dan bagaimana peran yang harus dipilih (role taking) ketika mereka
berinteraksi dengan lingkungan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
penilaian anak-anak tersebut mengenai apa yang mereka lakukan (meminta-minta)
kaitannya dengan pembentukan perilaku mereka serta apa yang mempengaruhi mereka
sehingga menampilkan tingkah laku tersebut?
2. Bagaimana
efek dari perilaku meminta-minta untuk perkembangan anak-anak tersebut?
BAB II
KAJIAN TEORITIS (KONDISI IDEAL)
Perkembangan adalah suatu proses. Setiap tahap
memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar dapat dipergunakan
pada tahap kehidupan selanjutnya.
Menurut Erikson,
anak yang berada pada usia middle childhood (6-12 tahun) berada pada tahap Genital-Locomotor Stage dan tahap Latency. Pada tahap Genital-Locomotor,
seorang anak diharapkan mulai dapat berinteraksi dengan lingkungannya secara
mandiri tanpa orangtuanya. Apabila anak berhasil malakukan hal ini maka anak
akan mendapatkan sense of initiative.
Sedangkan apabila anak tidak berhasil memenuhi tuntutan lingkungan untuk mulai
lepas dari orangtuanya maka ia akan mendapatkan perasaan sense of guilt. Kemudian pada tahap Latency, seorang anak diharapkan untuk mulai melakukan tugas-tugas
sederhana sebagaimana orang dewasa mampu lakukan. Dan apabila seorang anak
dapat melakukan hal ini maka ia akan mendapatkan sense of industry. Namun apabila anak merasa bahwa ia tidak dapat
mememenuhi tuntutan masyarakat tersebut maka ia akan merasakan sense of inferiority.
Tahapan-tahapan
diatas adalah proses yang secara umum dialami seorang individu sepanjang
hidupnya. Untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang berbeda-beda pada setiap
tahapan perkembangan usia (infancy,
childhood, middle childhood, dst) dibutuhkan kemampuan yang berbeda.
Berdasarkan
penjelasan singkat diatas dapat dilihat bahwa secara umum tugas perkembangan
pada masa middle childhood adalah
mendapatkan sense of initiative dan sense of industry. Kedua hal ini adalah
tuntutan masyarakat secara umum terhadap anak usia 6 -12 tahun.
Keluarga adalah lingkungan pertama yang paling
berperan dalam perkembangan anak. Anak berinteraksi dengan keluarganya (ibu,
ayah, saudara kakak, adik, dan lain-lain) dalam kehidupan kesehariannya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga memiliki pengaruh yang besar tehadap
seorang anak.
Selain itu usia middle childhood (6-12 tahun) biasanya
dikatakan juga usia sekolah karena pada usia inilah anak mulai masuk sekolah.
Anak yang sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktu dirumah sekarang mulai
diharapkan untuk belajar di sekolah. Sehingga lingkungan lain yang sekiranya
berpengaruh pada anak usia ini adalah sekolah.
Anak yang mulai
berinteraksi dengan orang-orang diluar rumahnya dan bermain di luar rumah akan
mulai mengenal kelompok lain yaitu peer
group. Pada usia inilah anak mulai melakukan memandang dirinya melalui
perbandingan dengan orang lain (social
comparison).
Meskipun lingkungan memiliki peranan yang
penting bagi seorang anak namun anak merupakan
sebuah unit individu yang memiliki dinamika tersendiri. Aspek-aspek
penting dalam diri anak saling terkait dan saling berinteraksi, yaitu aspek
biologis, kognitif, dan sosioemosional.
Secara fisik, anak
usia middle childhood telah memiliki
otot-otot yang memungkinkannya untuk melakukan eksplorasi di lingkungannya.
Anak mulai dapat mencoba melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan
fisik, seperti berolahraga dan bermain di luar rumah. Hal ini sangat membantu
anak dalam memenuhi tugas perkembangannya untuk mempelajari tugas-tugas
sederhana seperti orang dewasa lakukan dan apabila berhasil akan menumbuhkan
perasaan sense of industry. Anak yang
tidak sehat dan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah akan kehilangan
kesempatan untuk mulai berinteraksi di luar rumah tanpa orangtua dan mengelami
kesulitan untuk memperlajari kemampuan-kemampuan baru yang dapat menumbuhkan
perasaan sense of industry-nya.
Secara kognitif
anak middle childhood berada pada
tahapan concrete operational (menurut
Piaget). Meskipun anak sudah dapat membayangkan suatu proses tanpa perlu
melihat secara nyata proses tersebut namun hal ini masih terbatas pada hal-hal
yang bersifat konkrit. Tahapan perkembangan kognitif sebenarnya menggambarkan
bagaimana seseorang akan memecahkan persoalan yang ia hadapi. Semakin tinggi
tahapan perkembangan kognitif seseorang maka ia akan dapat membuat penyelesaian
masalah dengan semakin baik. Sekolah
adalah satu sarana yang dapat meningkatkan perkembangan kognitif. Sebuah
penelitian menyimpulkan bahwa anak yang mengikuti sekolah lebih baik dalam hal
perkembangan kognitif dibandingkan dengan anak yang tidak mengikuti sekolah.
Namun perlu diingat bahwa sekolah bukan hanya meningkatkan perkembangan
kognitif. Sekolah adalah agen sosialisasi yang tidak hanya memberikan pelajaran
mengenai materi kognitif namun juga mengajarkan nilai-nilai, prinsip-prinsip,
strategi-strategi dan kemampuan penyelesaian masalah. Anak juga diajarkan untuk
mematuhi aturan, melakukan kerjasama dengan temen sekolahnya . Dari sini dapat
disimpulkan bahwa sekolah juga berpengaruh pada perkembangan sosial dan
emosional anak. Sekolah juga mempersiapkan anak untuk dapat hidup secara
mandiri secara ekonomi dan mendapatkan pekerjaan.
Anak
sudah mulai memiliki sense of self
semenjak lahir. Ada beberapa aspek self yang berkembang pada diri anak pada
usia middle childhood. Salah satunya
adalah morality. Proses intenalisasi
nilai yang berlangsung selama masa kanak-kanak berpengaruh pada nilai-nilai
yang dianut pada masa dewasa. Piaget mengatakan bahwa pada usia preschool anak belum menunjukan
perhatian dan kesadaran terhadap aturan. Lalu pada usia 5-10 tahun, anak mulai
mengembangkan kesadaran yang kuat terhadap aturan.
Moralitas adalah
satu set prinsip-prinsip atau idealisme-idealisme yang dapat membantu seseorang
untuk 1) membedakan benar dan salah; 2) bertingkah laku berdasarkan prinsip
tersebut; 3) merasa bangga apabila bisa bertingkah laku sesuai dengan standar
dan merasa malu atau merasa bersalah apabila tidak berhasil.
Tiga komponen dari
moralitas adalah :
a.
Komponen Afektif : komponen yang berisi
perasaan-perasaan seputar tingkah laku yang berdasarkan pada standar moralitas.
b.
Komponen Kognitif : bagaimana
mengkonseptualisasikan benar dan salah dan memutuskan bagaimana bertingkah
laku.
c.
Komponen Behavioral : merefleksikan bagaimana
kita bertingkah laku ketika menghadapi godaan untuk berbohong, curang, atau
untuk melanggar standar moral kita
Pada awalnya
moralitas seorang anak merupakan hasil dari cara anak menghindari hukuman
dari figur otoritas atau untuk
mendapatkan kepuasan pribadi. Aturan-aturan tersebut kemudian terinternalisasi
ke dalam diri anak dan menjadi bagian dari dirinya, moralitas dirinya.
Tahapan
perkembangan moral menurut Kohlberg adalah sbb :
1.
Preconventional
Morality : Aturan masih merupakan sesuatu yang bersifat eksternal dan belum
terinternalisasi
a. Tahap
1 : Punishment and Obidience Orientation à
masih sangat bergantung pada konsekwensi dari suatu tingkah laku
b. Tahap
2 : Naïve Hedonism à
mematuhi aturan agar mendapatkan suatu reward
atau medapatkan kepuasan pribadi.
2.
Conventional
Morality : seseorang berusaha
mematuhi aturan agar mendapatkan social
approval
a. Tahap
3 : Good Boy or Good Girl
b. Tahap
4 : Social Order-Maintaining Morality
3. Postconventional Morality
a.
The
Social contract orientation
b.
Morality
of individual Principles of conscience
Penjelasan singkat
di atas memberikan gambaran bahwa moralitas adalah suatu bentuk tingkah laku
adaptif manusia. Bagaimana seseorang dapat bertahan di masyarakat. Bagaimana
seseorang berusaha untuk dapat diterima di masyarakat. Dan bagaimana
aturan-aturan tersebut terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri seseorang
dan mempengaruhi cara ia memandang dirinya dan bertingkah laku.
Anak usia middle childhood sedang memperlajari
bagaimana dapat bertahan di luar rumah tanpa bantuan orangtuanya. Aturan yang
telah dipelajarinya dirumah akan mendapatkan berbagai macam cobaan dan mungkin
juga tambahan.
Selain dari
orangtua, peer juga merupakan agen
sosialisasi moralitas. Terutama pada anak usia middle childhood yang
mulai mengenal peer. Hal ini akan
semakin memuncak pada masa remaja. Peer
adalah sosok yang tidak mengancam (tidak seperti orangtua yang bisa memberikan
hukuman) sehingga diskusi mengenai topik-topik
moralitas dengan peer akan
membuat anak semakin aktif dalam proses pembentukan moralitasnya.
Kohlberg menyatakan ada beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap perkembangan moral anak, yaitu :
1.
Interaksi dengan teman sebaya.
Kohlberg
sepakat dengan Piaget bahwa interaksi dengan teman sebaya memiliki pengaruh
yang lebih besar pada perkembangan moral anak daripada pemaksaan aturan oleh
orangtua. Interaksi ini dapat berupa proses modeling
atau transactive interaction. Transactive interaction adalah pertukaran reasoning
mengenai moralitas. Asimilasi dan akomodasi dapat menjadi hasil dari transactive
interaction.
Sedangkan
pemberian nilai-nilai oleh orangtua akan dipandang sebagai hal yang tidak
menyenangkan dan akan menimbulkan penolakan pada anak ataupun remaja.
2.
Pendidikan lanjutan.
Individu yang
mengikuti pendidikan tinggi biasanya memiliki reasoning mengenai moralitas yang lebih kompleks dibandingkan
dengan individu yang pendidikannya lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena
(1) pendidikan mengakomodasi perkembangan kognitif (2) memberikan kesempatan
untuk melihat perpektif yang berbeda-beda dan konflik moralitas.
3.
Pengaruh budaya
Misalnya,
lingkungan yang demokratis, yang memberikan kesempatan untuk berdiskusi
memberikan kesempatan untuk moral berkembang.
Moralitas
sebagai produk dari social learning
(dan social information processing)
Albert Bandura
(1986, 1991) dan Walter Mischel (1974) menyatakan bahwa tingkah laku moral
dipelajari dengan cara yang sama sebagaimana tingkah laku sosial yang lain.
Burton (1976), menyatakan karakter moral tidak selalu konsisten pada semua
situasi, bahkan pada orang dewasa yang telah matang sekalipun. Konsistensi dari
ketiga komponen moral semakin kuat seiring dengan usia.
Seorang
yang secara moral reasoning
(kognitif) dan moral affect (afektif)
mendukung pada tingkah laku moral yang baik ternyata masih sangat mungkin
melakukan tingkah laku yang melanggar standar moralnya tersebut. Situasi yang
berbeda memberikan efek yang berbeda. Yang penting adalah bagaimana tetap
bertahan pada standar moral seseorang pada situasi apapun. Social learning theory berusaha menjawab pertanyaan ini .
1.
Reinforcement
sebagai determinan atas tingkah laku moral
Orangtua yang
hangat dan memberikan pujian pada saat anaknya bertingkah laku baik akan
membantu proses internalisasi nilai-nilai pada anak. Dengan memberikan reinforcement bahwa mereka
adalah anak yang jujur, bertanggungjawab, dan lain-lain maka anak akan menjadikan psychological dimension tersebut menjadi bagian dari self-concept mereka.
2.
Peran punishment
dalam pembentukan moral prohibition
Meskipun me-reinforce tingkah laku yang baik dapat
meningkatkan frekwensi tingkah laku yang sesuai dengan norma, orangtua
seringkali lupa memuji anak yang berhasil menahan godaan untuk tidak
bertingkahlaku melanggar norma. Punishment dapat membentuk moral prohibition.
Namun punishment yang seperti apa?
Martin Hoffman’s (1988) penjelasan mengenai mengapa timgkah laku tersebut salah
sangat membantu dalam efektivitas hukuman. Melalui penjelasan akan terjadi
internal attribution. Mereka akan merasa bersalah, melanggar konsep diri mereka
yang positif apabila melanggar standar tersebut. Sedangkan tanpa penjelasan,
yang terjadi adalah external attribution. Dimana tingkah laku sesuai norma
hanya dilakukan apabila figure otoritas ada di sekitarnya.
Dalam rangka
menginternalisasikan nilai-nilai benar dan salah dan kemudian membentuk self
control maka perlu diberikan penjelasan agar seorang anak mengetahui mengapa
suatu tingkah laku adalah salah dan mengapa ia seharusnya merasa bersalah pada
saat melakukan tindakan tersebut.
3.
Efek social model pada moral behavior anak
Anak yang memberikan
contoh secara pasif yaitu dengan tidak melakukan tindakan melanggar norma
ternyata berpengaruh pada pembentukan
moral behavior anak. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak
tersebut menyatakan dengan jelas bahwa ia tidak melanggar aturan dan mengetahui
mengapa ia tidak melanggar aturan tersebut.
BAB III
ANALISA PERBANDINGAN ANTARA KONDISI IDEAL DAN KONDISI
REAL
Berdasarkan hasil
analisa dari data yang diperoleh di lapangan bahwa dari tugas perkembangan anak
pada usia sekolah dapat dilihat dari aspek perkembangan segi biologis, anak
usia sekolah (middle childhood) sudah
mulai berkembang yang artinya tubuhnya sudah cukup kuat untuk melakukan
eksplorasi lingkungan. Sedangkan dilihat dari segi kognitif, anak-anak usia
sekolah (middle childhood) mulai
dapat membedakan antar diri dengan orang di luar dirinya sehingga sudah dapat
membuat social comparison. Mereka
juga mulai dapat mengeksplorasi lingkungan melalui bahasa,
pengalaman-pengalaman (pengalaman budaya), hubungan interpersonal, kemampuan
pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta
menunjukan potensi yang nyata. Apabila dilihat segi sosioemosional, anak-anak
tersebut sudah mulai mengembangkan konsep diri yang berhubungan dengan siapa
dirinya, kemampuan yang dimiliki, kelebihan, kekurangan mengenai penilaian
lingkungan terhadap perilakunya. Ketiga aspek tersebut dipengaruhi oleh
lingkungan sekitar (orangtua, teman bermain, sekolah) dalam mendukung
pembentukan perilaku anak.
Anak usia middle-childhood
yang memang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebaya karena sudah
memasuki masa pendidikan formal, justru menjadi sangat terpengaruh oleh
teman-teman sebaya mereka (peers).
Kondisi-kondisi di
atas merupakan kondisi ideal untuk perkembangan pada anak usia sekolah (middle childhood). Sementara kondisi
real yang terjadi di area TPU Ujung Berung, anak-anak usia sekolah
meminta-minta di area makam saat sore
hari ketika pulang sekolah bahkan hal tersebut juga terjadi apabila ada yang
dimakamkan ketika jam anak sekolah.
Kondisi real yang
terjadi di area TPU Ujung Berung tidak sesuai dengan tugas perkembangan usia
mereka dimana seharusnya lebih memfokuskan diri untuk belajar di sekolah serta
mengeksplorasi potensi diri. Kondisi di mana anak-anak usia sekolah lebih
banyak meminta-minta di TPU daripada
berada di sekolah akan membuat mereka kehilangan kesempatan untuk
mengeksplorasi bakat dan potensi yang dimiliki.
Sedangkan dilihat
dari prinsip-prinsip perkembangan yang ada, bahwa setiap anak memiliki bakat
dalam dirinya dan bagaimana dukungan lingkungan terhadap hal tersebut.
Anak-anak yang mengemis di TPU, bakat yang ia miliki yang seharusnya dapat
dieksplorasi namun hal ini tidak terjadi ketika yang ia ketahui dan pahami
hanya dengan meminta-minta. Hal tersebut didukung oleh lingkungan sekitar
dengan cara memberikan uang kepada anak-anak tersebut sehingga terjadi
penguatan dalam perilakunya.
Aspek fisik mereka
tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Hal ini jugalah yang menyebabkan
mereka dapat lebih banyak melakukan eksplorasi dengan lingkungan dengan bermain
dan melakukan kegiatan fisik lainnya di luar rumah (TPU). Namun, aspek fisik
yang telah cukup berjalan dengan optimal ini tidak dibarengi oleh aspek sosioemosional
dan aspek kognitif. Setiap anak memiliki struktur kognitif atau kemampuan pikir
yang berbeda-beda. Artinya anak dalam menyikapi permasalahan juga berbeda-beda.
Berdasarkan dari hasil wawancara yang didapatkan bahwa ada sebagian anak (2
dari 4 anak) lebih menyukai meminta-minta di TPU dibandingkan dengan pergi ke
sekolah. Anak-anak yang lebih memilih untuk meminta-minta daripada sekolah
memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk belajar tentang kerjasama di
sekolah dibandingkan dengan anak yang bersekolah. Sekolah merupakan suatu wadah
yang memberikan kesempatan anak-anak untuk saling berinteraksi dan bekerjasama.
Selain sekolah, peran teman sebaya (peers)
juga berperan dalam perkembangan sosioemosional anak yang pada usia middle-childhood yang telah memasuki
usia sekolah. Perkembangan sosioemosional ini akan mengarah pada pembentukan sense of self dalam diri anak. Salah
satu aspek self pada anak usia middle-childhood yang berkembang adalah
moralitas. Selain orangtua dan sekolah, peers
juga merupakan agen sosialisasi moralitas. Dimana berdasarkan data yang ada,
diperoleh bahwa pada awalnya anak-anak yang melakukan kegiatan meminta-minta di
area TPU tersebut dikarenakan mengikuti ajakan teman-temannya yang melakukan
kegiatan yang sama. Hasil yang diperoleh ini senada yang dikemukakan oleh
Kohlberg yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak
salah satu diantaranya adalah interkasi dengan teman sebaya.
Komponen moralitas
sendiri terdiri atas tiga bagian yaitu kognitif, afektif dan tingkah laku juga akan
saling berinteraksi dalam membentuk perilaku anak-anak apakah sesuai atau
menyimpang dengan standar moral yang ada. Aspek kognitif digunakan untuk
menilai perilaku baik atau buruk, aspek afektif digunakan untuk menilai apakah
ada perasaan bersalah (malu) atau justru merasa bangga (senang) ketika
melakukan sesuatu dan yang terakhir aspek tingkah laku, dimana apakah perilaku
yang akhirnya dilakukan oleh anak sudah sejalan atau tidak dengan kognitif dan
afektif yang mereka miliki. Aspek kognitif dalam menilai perilaku baik atau
buruk, salah satu diantaranya dipengaruhi oleh tahapan perkembangan kognitif
dari masing-masing anak. Tahapan perkembangan kognitif terbentuk bisa dari
lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga (orangtua). Lingkungan sekolah dan
lingkungan keluarga dari anak-anak yang meminta-minta di TPU justru tidak
melarang dan tidak menjelaskan bahwa perilaku meminta-minta yang mereka lakukan
tersebut salah, bahkan lingkungan keluarga (orangtua) menyuruh anak-anaknya
untuk meminta-minta agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak
adanya larangan dan penjelasan sama sekali bahkan anak-anak justru disuruh
untuk meminta-minta di TPU yang dikaitkan pula bahwa tahap perkembangan
kognitif pada usia middle-childhood berada
pada tahap concrete-operasional yang
menilai segala sesuatu berdasarkan hal yang konkret saja menyebabkan dalam diri
anak terbentuk bahwa perilaku meminta-minta ini adalah hal yang baik. Aspek afektif
(emosi) yang menimbulkan perasaan bersalah atau bangga ketika melakukan sesuatu
dapat dipengaruhi oleh relasi sosial yang terjalin antara orangtua dan anak.
Orangtua yang selalu memberikan pujian ketika anak melakukan perilaku yang
sudah sesuai dengan standar moral yang ada sehingga anak akan merasa bangga dan
memberikan hukuman ketika anak melakukan perilaku yang bertentangan dengan
nilai standar moral sehingga anak akan merasa bersalah (malu) akan menyebabkan
anak akan membentuk konsep dalam dirinya bahwa untuk perilaku yang benar ia
akan merasa bangga (senang) tetapi jika ia melakukan perilaku yang salah ia
akan merasa bersalah (malu). Berdasarkan hasil yang diperoleh, relasi yang
terjalin antara anak yang meminta-minta dengan orangtua mereka tidak begitu
hangat. Beberapa dari orangtua justru lebih sering menghukum anaknya dan lebih
sering berada di luar rumah karena bekerja sehingga anak-anak kurang bisa
membedakan apakah ia harus merasa bersalah dan merasa bangga karena melakukan
perilaku yang salah. Aspek tingkah laku yang sebelum diwujudkan dalam bentuk
perilaku yang nyata juga terlebih dahulu harus terinternalisasi dalam diri
anak. Jadi meskipun anak menilai perilaku meminta-minta itu salah dan ia merasa
malu tetapi tidak terinternalisasi dalam diri anak maka perilaku yang muncul
akan tetap meminta-minta. Berdasarkan hasil interview dengan beberapa anak
ditemukan bahwa mereka menganggap bahwa perilaku meminta-minta itu salah dan ia
merasa malu jika ketahuan oleh teman-teman di sekolah tetapi mereka tetap
melakukan perilaku tersebut.
Meskipun anak tahu
bahwa meminta-minta itu salah dan merasa malu jika ketahuan namun hal ini tidak
terinternalisasi dalam diri mungkin dapat dipengaruhi karena mereka harus tetap
melakukannya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hal ini
juga didukung dengan reward dari lingkungan sekitar yang membuat anak-anak
tersebut semakin memperkuat tingkah laku meminta-minta mereka, misalnya dengan
mendapatkan uang setiap kali mereka meminta-minta dari para pelayat dan pihak
TPU yang kurang tegas melarang anak-anak untuk meminta-minta. Akibatnya adalah
nilai-nilai yang terinternalisasi pada diri anak adalah hal yang baik atau
menyenangkan dengan mendapatkan uang. Sehingga meskipun anak-anak tersebut tahu
bahwa perbuatan mereka tidak benar, tapi tetap melakukannya karena lingkungan
yang tidak memberikan punishment secara sosial kepada mereka.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan hasil
yang didapatkan di TPU mengenai anak yang meminta-minta dan dikaitkan dengan
konsep teoritis yang ada maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang
terinternalisasi dalam diri anak-anak adalah nilai bahwa meminta-minta itu
baik. Hal ini terjadi karena disebabkan tidak adanya usaha baik dari keluarga,
sekolah maupun pihak TPU untuk memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai baik
dan buruk sehingga akan terjadi internal
attribution yang akan membentuk moral
prohibition pada anak-anak. Tidak adanya usaha khususnya dari keluarga
sebagai lingkungan yang paling dekat dengan anak untuk memberikan penjelasan
mengenai nilai-nilai baik dan buruk kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan orangtua dan tingkat ekonomi yang mengharuskan untuk tetap
meminta-minta. Oleh karena itu, hal ini bisa berdampak pada standar nilai yang
sudah dianut oleh anak akan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat sehingga kemungkinan kedepannya anak akan sulit berinteraksi di luar
lingkungannya yang sekarang (area di sekitar TPU) karena anak-anak sudah
terbiasa untuk melakukan perilaku meminta-minta yang diperbolehkan di
lingkungan sekitar TPU sedangkan di lingkungan lain perilaku meminta-minta ini
dianggap melanggar nilai-nilai yang ada.
Dampak
lainnya yang kemungkinan akan ditimbulkan di kemudian hari adalah tingkat
kognitif anak-anak yang meminta-minta akan berkembang tidak optimal karena
anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sekolah dan melakukan
aktivitas yang kurang sesuai untuk pemenuhan tugas-tugas perkembangannya.romdankurkur
0 komentar:
Posting Komentar